Jumat, 18 Maret 2011

Kritik dan Rekonstruksi Hadis



Oleh: Ayatullah Dr. Husaini Qazwini

Hadis yang kami temui dalam Shahîh al-Bukhârî, ada manfaatnya bagi kami. Kami akan berdalil dengannya; bukan berarti kami menerima seluruh riwayat dalam Shahîh al-Bukhârî. Kami berhujah dengan riwayat yang membenarkan kata-kata kami dan menolak hujah mereka. Ini adalah kaidah wajib bagi orang berakal. Merujuk pada apa yang berkaitan dengan peristiwa ini, yaitu Nabi yang mulia saw… berdiri dan kencing. Hadis ini dibawakan Bukhari dalam sahihnya (jil. 1, hlm. 62, hadis no. 224 dan beberapa tempat lain):

أَتَى النَّبِىُّ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا

Beliau mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum dan kencing berdiri. Kami mengatakan riwayat ini, perbuatan ini, bertentangan dengan kemaksuman akhlak, adab seorang nabi. Karena nabi yang mulia dibanggakan dengan: “Sesungguhnya engkau di atas akhlak yang mulia.” Beliau mempunyai seluruh keindahan akhlak mulia. Manusia kencing berdiri dianggap orang yang tercela, dianggap suatu aib.

Saya telah berdiskusi di tepi Baitullah Haram bersama beberapa orang, pensyarah dan mahasiswa Arab Saudi. Jikalau Anda balik, ada seseorang yang mengatakan: “Saya melihat ayah kamu berdiri di tepi jalan sana sambil kencing berdiri, apakah Anda senang?” Ia menjawab: “Tidak. Saya akan pukul mulutnya.” Saya bertanya, “Bagaimana perbuatan ini untuk ayah Anda, orang biasa saja tidak sesuai, tapi untuk nabi Anda anggap sesuai?”

Bagi kami, riwayat ini bertentangan dengan akhlak seorang manusia. Riwayat ini bertentangan dengan keindahan dan kemuliaan insani, di mana Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Diutus agar keindahan insani disempurnakan. Beliau membimbing masyarakat manusia kepada kesempurnaan tertinggi. Ini bukan saja kesempurnaan semata-mata.

Jikalau Anda ceritakan kepada seorang pemuda kristiani atau seorang Yahudi, pasti ia berkata, “Nabi Anda tidak dididik dengan adat kebiasaan asasi manusia?” Ini sifat tercela bagi seorang nabi dan berpuluh lagi peristiwa (dalam riwayat).

Nabi Musa a.s. pergi ke tepian sungai, beliau ingin mandi. Pakaian diletakkan di pinggiran sungai. Setelah mandi beliau keluar, didapati batu telah membawa lari pakaian Nabi Musa alaihi salam. Nabi Musa mengejar batu ini (seraya berkata), “Pakaianku, hai batu!” Hai batu, itu celana dan bajuku, kembalikanlah!

Saya mohon kepada hadirin sekalian, dalam menukilkan hadis ini janganlah tertawa. Jikalau demikian (tertawa), saya tidak akan lanjutkan ceramah ini. Dalam pembahasan ilmu, kita tidak ada tertawa dan mengejek. Andai mereka mengutip hadis daif dari kitab kita dan tertawa, apakah kita suka? Saya mohon hadirin sekalian, tolong jaga akhlak masing-masing.

Nabi Musa a.s. mengejar batu dalam keadaan telanjang sehingga sampai diketahui Bani Israil. Bani Israil pun melihat Nabi Musa a.s. telanjang. Setelah itu batu pun membawa pakaian dan menyerahkannya. Ini bertentangan dengan adab dan akhlak asasi manusia. Bertentangan dengan apa yang kita baca dalam Alquran tentang Nabi Musa a.s.

Malaikat maut datang kepada Nabi Musa a.s. untuk mencabut nyawa. Beliau berkata, “Hai malaikat maut, pergilah!” atau sampaikan perhitunganmu. “Aku menjalankan tugas dari Allah.” Karena tamparan Nabi Musa a.s. ke wajah Izrail terlalu kuat, mata hamba Allah ini jatuh dan ia menjadi buta.

Lihatlah, peristiwa ini bertentangan dengan kemaksuman para nabi dan Allah menilai Nabi Musa a.s. sebagai hamba yang ikhlas. Andai kita mengkritik… riwayat ini ada di dalam sahih Bukhari, diiringi pertentangan dengan adab dan akhlak asasi manusia, kami mengatakan semua ini…

Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah saw. berjimak dengan sebelas istri dalam satu malam. Kami bertanya, pernahkan seorang guru, seorang ulama, seorang agamawan, menceritakan perkara (pribadi) ini? Karena riwayat semata-mata, mereka menerimanya. Tak pernah ada orang yang menceritakan perihal rumah tangga pribadi kepada umum. Ini diriwayatkan dari nabi, padahal sebenarnya mencela nabi. Pembicaraan tentang istri-istri nabi adalah aib untuk mereka. Jika dikatakan Anas bin Malik mengintip, hal itu juga aib bagi para sahabat.

Kami mengatakan, seandainya ini yang ada di dalam Shahîh al-Bukhârî, maka ia bertentangan dengan kemaksuman nabi, bertentangan dengan kesucian para nabi, bertentangan dengan akhlak asasi manusia. Masalah kita ialah apa saja yang ada di dalam sahih Bukhari telah dikatakan sebagai “wahyu”. Mungkin perkara (daif) ini ada di dalam kitab kita; kami tidak mengatakan ia tidak ada. Sebagian riwayat adalah daif, rekaan, dusta ada di dalam kitab al-Kâfî, Tahdzîb, al-Istibshâr, Man Lâ Yahdhur, Wasâ’il.

Tapi kita tidak mengatakan riwayat al-Kâfî dari awal sampai akhir adalah sahih atau “wahyu”. Barang siapa yang mendakwahkan (seluruh) riwayat al-Kâfî demikian (sahih) maka dia adalah kafir dan murtad. Kami mengatakan riwayat dalam al-Kâfî ada yang sahih dan daif. Kami mempunyai kaidah dan kelengkapan ilmu rijal. Kami meneliti dengan kelengkapan ini. Kami terima setiap riwayat yang sahih. Andainya tidak sahih, kami tinggalkan. Imam Shadiq a.s. berkata, setiap riwayat dari kami yang sampai kepada kalian dan kamu melihatnya bertentangan dengan Alquran, lemparkan ia ke dinding. Yakni, tinggalkan. Beginilah sikap kami terhadap riwayat rekaan.

Namun inilah masalah mendasar yang ikhwan kita ahlusunah terjebak dengan mengatakan shâhîhain; setiap riwayat hendaknya kita terima. Lihatlah peristiwa yang berkaitan dengan kencing berdiri. Nawawi yang wafat pada tahun 676, beliau adalah ulama besar ahlusunah, pakar ilmu fikih dan usul

وصار هذا عادة لأهل هراة

Ahlusunah Herat di Afghanistan…

يبولون قياما في كل سنة مرة إحياء لتلك السنة

Setiap tahun ahlusunah Herat kencing berdiri satu kali untuk menghidupkan sunah nabi ini. Inipun haru biru juga. Musibah ini yang kamu lakukan. Kalaulah perkara ini diambil orang kafir untuk menentang Islam… lihatlah Majmu’ Nawawi (klik di sini) yang merupakan kitab fikih muktabar ahlusunah. Beliau berasal dari mazhab Syafii (jil. 2 hlm. 103). Darul Fikr Beirut mencetak kitab ini tahun 1997. Syarah Suyuthi atas Sunan Nasai (jil. 1, hlm. 20), Maktab Matbu’ah Islamiah al-Hallab, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghadah. Perkara ini ada di dalam kedua kitab.

Harapan kami kepada ulama, cendikiawan ahlusunah, jikalau melihat suatu riwayat, meskipun dalam shâhîhain, jika bertentangan dengan Alquran, bertentangan dengan sunah yang sebenarnya, bertentangan dengan akal (sehat) manusia, hendaknya mereka pisahkan. Katakanlah ini bukan perilaku nabi. Perkara ini datang dari perawi asing; sebagian individu datang dari Yahudi dan telah memasukkan perkara dusta di tengah riwayat Islam sehingga cahaya Islam menjadi suram. Seperti Ka’bul Akhbar, Tamimi, Ansar… individu yang sudah dikenal pasti ada banyak riwayat mereka di dalam kutub as-sittah ikhwan ahlusunah.

Catatan: Ceramah ini disampaikan pada seminar al-Ghadir yang dihadiri ratusan pelajar Syiah dan ahlusunah pada 11/09/1338 di kota Masyhad. Diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Kachiwa dan disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Reza Aljufri :D


Bermanfaat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar